Alkisah ada seorang budak di Baghdad yang memerdekakan dirinya dengan uang yang dia kumpulkan dari hasil kerja kerasnya setiap hari. Termasuk di hari Jumat, hari ketika seharusnya seorang budak libur. Dia pun menghadap tuannya untuk menyerahkan uang tersebut dengan imbalan agar dimerdekakan. Takjub dengan kerja kerasnya tersebut, sang tuan mengatakan kalau sang budak hanya perlu membayar separuh dari uang yang dia berikan, sisanya untuk modal hidup.
Setelah itu, sang budak yang sudah menjadi mantan budak itu pun memulai hidup barunya. Dia pun menikah dengan seorang wanita. Dari pernikahannya tersebut, mereka memiliki satu orang anak laki-laki bernama Qolawun. Namun, usai istrinya menuntaskan kewajiban untuk menyusui anak mereka, dia mengalami sakit hingga Allah memanggilnya. Sejak itu, sang mantan budak hanya tinggal bersama sang anak hingga besar dan tumbuh akan kasih sayang ayahnya yang mantan budak.
Suatu hari dia berkata kepada sang anak untuk menjadi manusia yang merdeka, untuk tidak menjadi budak. Sebab menjadi budak itu tidak bisa merdeka sehingga sama saja seperti separuh manusia. Dan seorang manusia yang merdeka adalah manusia yang bisa memilih bagaimana dia akan mati dan mempersembahkan nyawanya hanya untuk Allah SAW. Orang terbaik yang meninggal adalah yang tidak perlu melewati yaumil hisab, amalnya tidak perlu ditimbang. Mereka adalah orang yang dapat mati syahid, yang gugur berjuang di jalan Allah.
Usai mengatakan hal tersebut sang mantan budak mengajak anaknya pergi ke pasar untuk membeli kuda terbaik agar dapat digunakan untuk berjuang di jalan Allah dengan kuda tersebut.
Jadi, dapat mempersembahkan hidup mereka kepada Allah. Usai membeli kuda tersebut, mereka pun pulang. Di perjalanan, tetangga-tetangga yang melihat mereka membawa kuda pun refleks mencibir mereka.
Apalagi harga kuda begitu mahal sementara mereka terbilang miskin dibanding tetangga yang lain. Mendengar cibiran tersebut, sang mantan budak berkata kepada anaknya, "Nak, sabar. Jangan ikuti apa kata orang selama yang kamu cari itu ridhonya Allah."
Mereka pun merawat dengan baik, memberi makan, memberi minum, memandikannya. Hingga suatu hari, kuda mereka lepas. Tetangga-tetangga mereka kembali mencibir, "Kapok! Rasain! Makanya jangan sok-sokan. Orang miskin kok melihara kuda." Sang mantan budak tidak menanggapi cibiran tersebut. Dia justru berkata kepada sang anak, "Nak, kita tidak pernah tahu, tapi takdir Allah pasti yang terbaik. Kita tidak tahu ini nikmat atau musibah, tapi kita berprasangka baik kepada Allah ya Nak. Bismillah, kita kumpulkan lagi uang untuk membeli kuda."
Tiga hari kemudian, terdengar ringkik kuda dari rumah mereka. Ternyata kuda mereka pulang. Bukan hanya itu, kuda mereka membawa segerombolan teman-temannya dari padang rumput. Tiba-tiba jumlah kuda mereka bertambah banyak. Mereka pun merawat belasan kuda tersebut dengan begitu baik. Lagi-lagi tetangga-tetangga mereka mencibir, "Wah, kudanya pulang ya. Untung besar ya. Sekarang kudanya banyak." Mereka menanggapi cibiran tersebut dengan berkata, "Kami tidak tahu ini nikmat atau musibah, yang penting kami berprasangka baik kepada Allah."
Keesokan harinya sang anak latihan naik kuda. Namun, ketika melewati suatu tempat, entah karena apa tiba-tiba kuda tersebut kaget sehingga sang anak terlempar, kakinya pun patah. Dia pun ditandu ke rumah. Bukannya mendoakan atau menjenguk, tetangga-tetangga mereka malah mencibir, "Mending gak usah punya kuda daripada punya kuda tapi kaki anaknya patah. Sial betul. Rasain" Mendengar cibiran tersebut, sang mantan budak berkata kepada sang anak, "Nak, sabar ya Nak. Kita tidak pernah tahu, ini nikmat atau musibah, tapi yang penting kita berprasangka baik kepada Allah."
Beberapa hari kemudian, ada segerombolan tentara yang datang ke daerah mereka untuk mencari pemuda agar ikut wajib militer. Ikut berperang di medan pertempuran karena raja ingin berperang dengan raja lain. Mengetahui itu, sang mantan budak berkata kepada anaknya untuk berdoa agar anaknya tidak direkrut sebab perang tersebut merupakan perang melawan sesama muslim.
Ketika segerombolan tentara itu mendatangi rumah mereka, segerembolan tentara tersebut bertanya kepada sang mantan budak tentang kaki anaknya yang diperban. Dia berkata kalau anaknya baru saja mengalami musibah, kakinya patah karena latihan kuda. Mendengar itu, segerombolan tentara itu langsung mencoret nama anak sang mantan budak untuk direkrut.
Namun, pemuda-pemuda lain di daerah mereka dibawa semua oleh segerombolan tentara itu untuk ditempatkan di garis depan medan pertempuran. Melihat anak sang mantan budak tidak dibawa, dengan sesenggukkan tetangga-tetangga mereka berkata, "Beruntung kamu ya Nak. Untung kakimu patah. Jadi gak kena wajib militer. Lah, anak kami pada sehat-sehat, diambilin para tentara. Celaka kami ini." Sang mantan budak dan anaknya pun berkata, "Tenang Pak. Kita tidak tahu, ini nikmat atau musibah, yang penting kita berprasangka baik kepada Allah."
Satu bulan kemudian, ketika sang anak sudah dapat berjalan lagi, tersiar kabar di daerah mereka bahwa seluruh pemuda daerah mereka yang ditarik ke garis depan medan pertempuran, tidak ada yang selamat. Seluruh warga di daerah mereka menangis, kecuali mereka. Mereka pun menghibur tetangga-tetangga dan berkata, "Kita tidak pernah tahu, ini nikmat atau musibah, yang penting kita berprasangka baik kepada Allah."
Bertahun-tahun kemudian, sekitar tahun 1200, ada penyerbuan pasukan Tar-tar dan pasukan Mongol yang menyerbu ke barat untuk menghancurkan kekhalifahan Islam di Baghdad hingga berubah menjadi ladang pembantaian. Bahkan sungai Tigris warnanya berubah menjadi merah dan hitam karena darah orang-orang yang dibantai dan tinta buku-buku yang dilempar dari Perpustakaan Baghdad. Mengetahui itu, sang mantan budak mengajak anaknya untuk berjuang di jalan Allah, menyerang pasukan Tar-tar dan pasukan Mongol. Mereka pun bergabung di bawah kesatuan Saifuddin Muzaffar Al-Qutuz dan menang melawan pasukan Tar-tar dan pasukan Mongol. Namun, sang mantan budak gugur sementara sang anak ditangkap musuh dan dijual sebagai budaknya Sultan Baibars di Negeri Mesir.
Karena kecerdasan dan jiwa kepemimpinannya, sang anak dibebaskan dari perbudakan dan diangkat menjadi raja menggantikan Sultan Baibars. Dia pun mendapat gelar Al-Mansur Saifuddin sehingga namanya menjadi Sultan Al-Mansur Saifuddin Qolawun.
Dari kisah panjang yang menakjubkan tersebut banyak hal yang dapat kita ambil.
Pertama, kita tidak perlu memedulikan apa yang orang lain katakan selama apa yang kita lakukan memang hanya untuk Allah. Sebab, kita berbuat baik apalagi buruk, tentu akan ada yang mencibir kita.
Kedua, kita tidak pernah tahu apa yang menjadi takdir. Apa yang nanti akan kita dapatkan atau terjadi pada diri kita. Pun tidak tahu apa rencana Allah di balik kejadian-kejadian menimpa pada diri kita.
Ketiga, dari ketidaktahuan tersebut seharusnya kita yakin dan percaya akan setiap takdir Allah. Sebab takdir Allah adalah yang terbaik bagi kita.
Keempat, untuk itu kita harus berprasangka baik kepada Allah. Berpikir positif akan setiap yang terjadi pada kita, setiap yang menimpa kita, setiap takdir Allah. Sebab, tidak pernah ada kesia-siaan ketika kita akan percaya pada Allah dan berprasangka baik akan takdir Allah tersebut. Seperti yang dikatakan Qalawun dan ayahnya tersebut, bahwa kita tidak pernah tahu yang menimpa kita itu nikmat atau musibah, tetapi yang penting kita berprasangka baik akan takdir Allah
Wallahualam
Jumat, 29 Mei 2020
Kami tidak tahu ini nikmat atau musibah, yang penting kami berprasangka baik kepada Allah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar