Diceritakan, Ali
Bin Abi talib waktu itu ingin melamar Fatimah, putri nabi Muhammad SAW. Tapi
karena dia tidak mempunyai uang untuk membeli mahar, maka ia membatalkan niat
itu. Ali segera berhijrah untuk bekerja dan mengumpulkan uang. Pada saat Ali
sedang bekerja keras, ia mendengar khabar kalau Abu Bakar ternyata melamar
Fatimah. Wah, bagaimana agaknya perasaan Ali, wanita yang sudah dia inginkan
dilamar oleh seseorang yang ilmu agama nya lebih hebat dari dia. Tetapii Ali
tetap bekerja dengan giat.
Lalu setelah
beberapa lama Ali mendengar kabar kalau lamaran Abu Bakar kepada Fatimah
ditolak. Ali terpegun dan sedikit bergembira tentunya, kata Ali “waah, saya
masih punya kesempatan ”. Setelah mendengar khabar itu, Ali bekerja lebih giat
lagi agar cepat mengumpulkan uang dan segera melamar Fatimah. Tapi tak lama
setelah itu, Ali mendengar khabar kalau Umar Bin Khatab melamar Fatimah. Wah,
sekali lagi Ali mendahulukan orang lain, bagaimana perasaanya? Tapi tak berapa
lama Ali mendengar kalau lamaran Umar bin Khatab ditolak. betapa senangnya Ali,
mendengar kabar itu.
Tapi tak lama
kesenangan itu kembali pudar Karena terdengar khabar lagi, ternyata Usman bin
Affan melamar Fatimah. ini sudah yang ketiga kalinya, kata Ali “mungkin kali
ini diterima. Kalaulah Usman tidak melamar Fatimah secepat ini, InsyaAllah
tidak lama lagi saya akan melamar Fatimah, tapi , apa hendak dikata , adakah
mahu mengalah?".
Dan sekali lagi, tidak berapa lama dari itu, khabar ditolaknya lamaran Usman bin Affan pun terdengar lagi, betapa bahagianya Ali. Semangat Ali untuk melamar Fatimah pun berkobar lagi, dan semangat itu didukung oleh sahabat-sahabat Ali. Kata sahabat nya “pergilah Ali, lamar Fatimah sekarang, tunggu apa lagi?? kamu kan sudah bekerja keras selama ini, kamu juga sudah mengumpulkan harta dan cukup untuk membeli mahar. tunggu apa lagi??? Tunggu yang ke4 kalinya??? baik cepat!!!”
Dan sekali lagi, tidak berapa lama dari itu, khabar ditolaknya lamaran Usman bin Affan pun terdengar lagi, betapa bahagianya Ali. Semangat Ali untuk melamar Fatimah pun berkobar lagi, dan semangat itu didukung oleh sahabat-sahabat Ali. Kata sahabat nya “pergilah Ali, lamar Fatimah sekarang, tunggu apa lagi?? kamu kan sudah bekerja keras selama ini, kamu juga sudah mengumpulkan harta dan cukup untuk membeli mahar. tunggu apa lagi??? Tunggu yang ke4 kalinya??? baik cepat!!!”
Dengan segera Ali
memeberanikan diri untuk menghadap ke Nabi Muhammad S.W.T dengan tujuan melamar
Fatimah, dan sahabat-sahabat tau??? LAMARANNYA DITERIMA!!!
Oh rupanya : ternyata memang dari dulu Fatimah az-Zahra sudah mempunyai perasaan dengan Ali dan menunggu Ali untuk melamarnya. Begitu juga dengan Ali, dari dulu dia juga sudah mempunyai perasaan dengan Fatimah az-Zahra,. Tapi mereka berdua sabar menyembunyikan perasaan itu sampai saat nya tiba, sampai saatnya ijab Kabul disahkan . Wah..wah.. mereka hebat yaaa (harus kita contohi, sahabat-sahabat ). Walaupun Ali sudah merasakan kekecewaan 3 kali mendahulukan orang lain, akhirnya kekecewaan itu terbayar juga.
Oh rupanya : ternyata memang dari dulu Fatimah az-Zahra sudah mempunyai perasaan dengan Ali dan menunggu Ali untuk melamarnya. Begitu juga dengan Ali, dari dulu dia juga sudah mempunyai perasaan dengan Fatimah az-Zahra,. Tapi mereka berdua sabar menyembunyikan perasaan itu sampai saat nya tiba, sampai saatnya ijab Kabul disahkan . Wah..wah.. mereka hebat yaaa (harus kita contohi, sahabat-sahabat ). Walaupun Ali sudah merasakan kekecewaan 3 kali mendahulukan orang lain, akhirnya kekecewaan itu terbayar juga.
“Jodoh memang tidak kemana”,dari cerita itu, lebih memperjelas lagi kan bahwa “Cinta itu, mengambil kesempatan , atau mempersilakan yang lain”
Cinta adalah hal
fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang,namun bagaimanakah membingkai
perasaan tersebut agar bukan Cinta yang mengendalikan Diri kita, Tetapi Diri
kita yang mengendalikan Cinta. Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal
tersebut disekitar kita saat ini. Walaupun bukan tidak ada.. barangkali, kita
saja yang tidak mengetahuinya. Dan inilah kisah dari Khalifah ke-4, Suami dari
Putri kesayangan Rasulullah tentang membingkai perasaan dan Bertanggung jawab
akan perasaan tersebut “Bukan janj-janji”
Dan ’Ali pun
menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan
baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan sahabat-sahabatnya
tapi Nabi berkeras agar ia membayar bakinya, Itu hutang. Dengan keberanian
untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan
keberanian untuk menikah.
Sekarang. Bukan
janji-janji dan nanti-nanti. ’Ali adalah gentleman sejati.,“Laa fatan illa
‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi.
Dalam riwayat lain
diceritakan seperti ini:
Dimalam pertama
setelah mereka menikah, Fatimah berkata kepada Ali:
Fatimah : “Wahai
suamiku Ali, aku telah halal bagimu, aku pun sangat bersyukur kepada Allah
karena ayahku memilihkan aku suami yang tampan, sholeh, cerdas dan baik
sepertimu”.
Ali : “Aku pun
begitu wahai Fatimahku sayang, aku sangat bersyukur kepada Allah akhirnya
cintaku padamu yang telah lama kupendam telah menjadi halal dengan ikatansuci
pernikahanku denganmu.”
Fatimah : (berkata
dengan lembut) “Wahai suamiku, bolehkah aku berkata jujur padamu? karena aku
ingin terjalin komunikasi yang baik diantara kita dan kelanjutan rumah tangga kita”.
Ali : “Tentu saja
istriku, silahkan, aku akan mendengarkan mu…”.
Fatimah : “Wahai Ali
suamiku, maafkan aku, tahukah engkau bahwa sesungguhnya sebelum aku menikah
denganmu, aku telah lama mengagumi dan memendam rasa cinta kepada seorang
pemuda, dan aku merasa pemuda itu pun memendam rasa cintanya untukku. Namun
akhirnya ayahku menikahkan aku denganmu. Sekarang aku adalah istrimu, kau
adalah imamku maka aku pun ikhlas melayanimu, mendampingimu, mematuhimu dan
menaatimu, marilah kita berdua bersama-sama membangun keluarga yang diridhoi
Allah”
Sungguh bahagianya
Ali mendengar pernyataan Fatimah yang siap mengarungi bahtera kehidupan
bersama, suatu pernyataan yang sangat jujur dan tulus dari hati perempuan
sholehah. Tapi Ali juga terkejut dan agak sedih ketika mengetahui bahwa sebelum
menikah dengannya ternyata Fatimah telah memendam perasaan kepada seorang
pemuda. Ali merasa agak sedih karena sepertinya Fatimah menikah dengannya
karena permintaan Rasul yang tak lain adalah ayahnya Fatimah, Ali kagum dengan
Fatimah yang mau merelakan perasaannya demi taat dan berbakti kepada orang
tuanya yaitu Rasul dan mau menjadi istri Ali dengan ikhlas.
Namun Ali memang
sungguh pemuda yang sangat baik hati, ia memang sangat bahagia sekali telah
menjadi suami Fatimah, tapi karena rasa cintanya karena Allah yang sangat tulus
kepada Fatimah, hati Ali pun merasa agak bersalah jika hati Fatimah terluka,
karena Ali sangat tahu bagaimana rasanya menderita karena cinta. Dan sekarang
Fatimah sedang merasakannya. Ali bingung ingin berkata apa, perasaan didalam
hatinya bercampur aduk. Di satu sisi ia sangat bahagia telah menikah dengan
Fatimah, dan Fatimah pun telah ikhlas menjadi istrinya. Tapi disisi lain Ali
tahu bahwa hati Fatimah sedang terluka. Ali pun terdiam sejenak, ia tak
menanggapi pernyataan Fatimah.
Fatimah pun lalu
berkata, “Wahai Ali suamiku sayang, Astagfirullah maafkan aku. Aku tak ada
maksud ingin menyakitimu, demi Allah aku hanya ingin jujur padamu, saat ini
kaulah pemilik cintaku, raja yang menguasai hatiku.”.
Ali masih saja terdiam, bahkan Ali mengalihkan pandangannya dari wajah Fatimah yang cantik itu.
Ali masih saja terdiam, bahkan Ali mengalihkan pandangannya dari wajah Fatimah yang cantik itu.
Melihat sikap Ali,
Fatimah pun berkata sambil merayu Ali, “Wahai suamiku Ali, tak usah lah kau
pikirkan kata-kataku itu, marilah kita berdua nikmati malam indah kita ini.
Ayolah sayang, aku menantimu Ali”.
Ali tetap saja
terdiam dan tidak terlalu menghiraukan rayuan Fatimah, tiba-tiba Ali pun
berkata, “Fatimah, kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu, kau pun tahu betapa
aku berjuang memendam rasa cintaku demi untuk ikatan suci bersamamu, kau pun
juga tahu betapa bahagianya kau telah menjadi istriku. Tapi Fatimah, tahukah
engkau saat ini aku juga sedih karena mengetahui hatimu sedang terluka. Sungguh
aku tak ingin orang yang kucintai tersakiti, aku bisa merasa bersalah jika
seandainya kau menikahiku bukan karena kau sungguh-sungguh cinta kepadaku. Walupun
aku tahu lambat laun pasti kau akan sangat sungguh-sungguh mencintaiku. Tapi
aku tak ingin melihatmu sakit sampai akhirnya kau mencintaiku”.
Fatimah pun
tersenyum mendengar kata-kata Ali, Ali diam sesaat sambil merenung, tak terasa
mata Ali pun mulai keluar air mata, lalu dengan sangat tulus Ali berkata lagi,
“Wahai Fatimah, aku sudah menikahimu tapi aku belum menyentuh sedikit pun dari
dirimu, kau masih suci. Aku rela menceraikanmu malam ini agar kau bisa menikah
dengan pemuda yang kau cintai itu, aku akan ikhlas, lagi pula pemuda itu juga
mencintaimu. Jadi aku tak akan khawatir ia akan menyakitimu. Aku tak ingin
cintaku padamu hanya bertepuk sebelah tangan, sungguh aku sangat mencintaimu,
demi Allah aku tak ingin kau terluka… Menikahlah dengannya, aku rela”.
Fatimah juga
meneteskan airmata sambil tersenyum menatap Ali, Fatimah sangat kagum dengan
ketulusan cinta Ali kepadanya, ketika itu juga Fatimah ingin berkata kepada
Ali, tapi Ali memotong dan berkata, “Tapi Fatimah, sebelum aku menceraikanmu,
bolehkah aku tahu siapa pemuda yang kau pendam rasa cintanya itu?, aku berjanji
tak akan meminta apapun lagi darimu,namun izinkanlah aku mengetahui nama pemuda
itu.”
Airmata Fatimah
mengalir semakin deras, Fatimah tak kuat lagi membendung rasa bahagianya dan Fatimah
langsung memeluk Ali dengan erat. Lalu Fatimah pun berkata dengan
tersedu-sedu,“Wahai Ali, demi Allah aku sangat mencintaimu, sungguh aku sangat
mencintaimu karena Allah."
Berkali-kali
Fatimah mengulang kata-katanya. Setelah emosinya bisa terkontrol, Fatimah pun
berkata kepada Ali, “Wahai Ali, Awalnya aku ingin tertawa dan menahan tawa
sejak melihat sikapmu setelah aku mengatakan bahwa sebenarnya aku memendam rasa
cinta kepada seorang pemuda sebelum menikah denganmu, aku hanya ingin
menggodamu, sudah lama aku ingin bisa bercanda mesra bersamamu. Tapi kau malah
membuatku menangis bahagia. Apakah kau tahu sebenarnya pemuda itu sudah
menikah”.
Ali menjadi
bingung, Ali pun berkata dengan selembut mungkin, walaupun ia kesal dengan ulah
Fatimah kepadanya ”Apa maksudmu wahai Fatimah? Kau bilang padaku bahwa kau
memendam rasa cinta kepada seorang pemuda, tapi kau malah kau bilang sangat
mencintaiku, dan kau juga bilang ingin tertawa melihat sikapku, apakah kau
ingin mempermainkan aku Fatimah?, sudahlah tolong sebut siapa nama pemuda itu?
Mengapa kau mengharapkannya walaupun dia sudah menikah?”.
Fatimah pun kembali
memeluk Ali dengan erat, tapi kali ini dengan dekapan yang mesra. Lalu menjawab
pertanyaan Ali dengan manja, “Ali sayang, kau benar seperti yang kukatakan
bahwa aku memang telah memendam rasa cintaku itu, aku memendamnya
bertahun-tahun, sudah sejak lama aku ingin mengungkapkannya, tapi aku terlalu
takut, aku tak ingin menodai anugerah cinta yang Allah berikan ini, aku pun
tahu bagaimana beratnya memendam rasa cinta apalagi dahulu aku sering bertemu
dengannya. Hatiku bergetar bila ku bertemu dengannya. Kau juga benar wahai Ali
cintaku, ia memang sudah menikah. Tapi tahukah engkau wahai sayangku, pada
malam pertama pernikahannya ia malah dibuat menangis dan kesal oleh perempuan
yang baru dinikahinya”
Ali pun masih agak
bingung, tapi Fatimah segera melanjutkan kata-katanya dengan nada yang semakin
menggoda Ali, ”Kau ingin tahu siapa pemuda itu? Baiklah akan kuberi tahu.
Sekarang ia berada disisiku, aku sedang memeluk mesra pemuda itu, tapi kok dia
diam saja ya, padahal aku memeluknya sangat erat dan berkata-kata manja
padanya, aku sangat mencintainya dan aku pun sangat bahagia ternyata memang
dugaanku benar, ia juga sangat mencintaiku…”
Ali berkata kepada
Fatimah, “Jadi maksudmu…???”
Fatimah pun
berkata, “Ya wahai cintaku, kau benar, pemuda itu bernama Ali bin Abi Thalib
sang pujaan hatiku”.
dalam riwayat lain
dikisahkan bahwa ketika malam pengantin (setelah mereka menikah) Fathimah
berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku,
karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta
pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan
berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda
itu”
Sambil tersenyum
Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Subhanallah,
Betapa Indahnya Kisah Cinta antara Ali Bin Abi Thalib Dan Fatimah Az-Zahra.
Maha Suci Allah, Dialah yang mengatur segalanya. Dialah yang telah mengatur
jodoh, rezeki, pertemuan, dan maut dari setiap insan di Dunia.
0 komentar:
Posting Komentar